Tuesday, November 27, 2007

Kuasa Doa

Jemaat mulai bergerak menuju ke depan mimbar. Kebaktian kesembuhan dan pelepasan yang dilaksanakan, Senin 26 November 2007 di GBKP Bandung Pusat dilayani oleh Pdt. Sahabat. Sejak awal ibadah, aku sudah mulai mello menyanyikan setiap pujian yang dinaikkan. Aku teringat dulu waktu masih aktif dan menjadi pemula di PERMATA Bandung Pusat. Dulu belum ada PD RUnggun, hanya PD PERMATA yang ada dan sering mendapat penentangan dari orang tua. PERMATA dianggap terlalu ikut-ikutan dengan kharismatik.

Sambil bernyanyi dan menyembah, air mata mengalir...inikah buah doa kita2 juga? Dulu..kita sering menangisi gereja kita, bandung pusat supaya terjadi revival. Hampir 90% dari kita yang dulu PERMATA yang sering ikut PD sudah tidak lagi di BAndung. Itu sudah berlalu 10 tahun yang lalu. Sangat bersyukur bisa melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana jemaat mulai bergerak ketika ditantang untuk maju supaya didoakan untuk kesembuhan dan juga pelepasan.

Air mata yang mengalir bukan hanya sebagai ucapan syukur bisa menyaksikan sesuatu yang baru di gereja kita yang sangat tradisional ini. Tapi juga air mata yang mulai menghangatkan hati untuk menumbuhkan harapan bahwa apapun yang dialami saat ini ketika kita tetap berdoa, di depan nanti Tuhan akan ijinkan kita melihat apa yang menjadi doa kita.

Panggilan itu dilakukan dua kali, yang pertama untuk kesembuhan dan yang kedua untuk pelepasan. Dibelakang kegiatan ini adalah Tim PD Runggun dan juga PERMATA. Pekerja dalam ibadah ini banyak pemuda. MC dan pemain musik juga pemuda, pujian yang dinaikkan dicampur lagu GBKP dan juga lagu-lagu rohani yang lebih dikenal di persekutuan. Saya dengar bahwa sekarang ini malah PD Runggun lebih maju daripada PD PERMATA, dan jg sekali dalam sebulan PD digabung PERMATA dan Runggun. Doa tidak pernah sia-sia..

Kita tidak akan menutup mata, kalau saat ini memang banyak jemaat kita yang sakit. Sakit bukan karena virus atau bibit penyakit yang bisa dicegah saja. Tapi sering sekali penyakit yang diderita adalah karena tidak mampu mengampuni, keputusasaan hidup, tidak ada harapan akan masa depan yang membuat kemiskinan dan kesengsaraan dalam melalui hari-hari, tidak bersemangat, dan banyak lagi penderitaan yang mengungkung jemaat. Seorang pemudi mengakui kalau dia memang selalu pusing dan juga asam lambungnya tinggi sampai sering muntah-muntah, dia bolak balik ke dokter dan juga penyakit itu bolak balik menyerang dia. Dia memiliki kepahitan kepada kakak PA nya, karena menurutnya kakak PA nya merebut pacarnya. Dan memang semua juga menyaksikan kalau saat ini mantan pacarnya itu pacaran dengan mantan kakak PA nya itu. Itulah yang mewarnai pelayanan pemuda ini. Dia mengakui sekalipun dia sudah bilang mengampuni, tapi kalau ketemu dengan ex kakak PAnya atau mantan pacarnya, dia langsung kesulitan untuk menyapa dan ingin menghindar saja. Mungkin banyak lagi penyakit lain yang butuh doa untuk menyembuhkannya.

Panggilan kedua adalah pelepasan, tidak kalah banyaknya yang maju ke depan dibanding dengan panggilan yang pertama. Kita juga tidak akan memungkiri kalau sebelum kekristenan masuk ke Karo, nenek moyang kita adalah beragama "pemena". Okultisme sarat menyatu dengan kehidupan nenek moyang, hampir semua segi kehidupan mereka bersentuhan dengan okultisme. Sangat besar kemungkinan kalau ada (banyak) jemaat GBKP yang masih terikat dengan kuasa kegelapan itu dan memerlukan pelepasan. Cukup banyak yang maju dengan kerinduan dilepaskan dari semua kuasa-kuasa kegelapan yang mengikat mereka.

Puji TUHAN...
Itu terjadi di BAndung.

Aku berdoa dan mengingat, bukankah di tanah KAro sana juga memerlukan doa pelepasan? Mungkin banyak jemaat kita yang sudah capek terikat dengan kuasa kegelapan. Mereka sudah sangat lama rindu untuk dilepaskan dan menjadi orang yang merdeka di dalam Tuhan. Apakah kerinduan mereka itu sudah terjawab? Saya sering melihat di kampung halaman kalau ibadah untuk kesembuhan dan pelepasan itu sering dianggap bagian dari ibadah karismatik, dan GBKP enggak melakukannya. Memang benar, menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat jauh lebih penting dari semua. Tapi saat ini dibumi ini, bukankah Kristus juga datang untuk memerdekakan anak-anakNya? Kebenaran memang sering sekali ditutupi oleh si jahat supaya kita tetap terpenjara dengan dakwaannya sehingga tidak pernah menikmati hidup bebas merdeka di dalam Kristus.

Berdoa agar GBKP dimana saja lebih menghidupi kebenaran Alkitab dan juga semakin berani untuk melawan kuasa-kuasa kegelapan yang mengikat jemaat.

Sunday, November 25, 2007

Tidak ada tempat yang nyaman....

Beberapa teman mengingatkan aku bahwa tidak ada tempat yang nyaman dan aman bagi orang-orang yang melakukan kehendakNya. Semangatlah ketika hambatan ada di depan...ingat bahwa kita mengerjakan untuk Tuhan. Bagian ini dibacakan sebagai komitmen ketika aku berdiri di depan pendeta untuk menerima tanggung jawab ikut mengambil bagian dalam pelayanan pemuda.

Kita dipanggil bukan untuk hidup nyaman dan aman tetapi untuk hidup gelisah dan tidak pernah tenang melihat keadaan sekitar yang memang kan semakin mengesalkan. Ketika kita minta pada Nya tuk dewasa dalam Dia maka Ia akan memberikan tantangan dan rintangan yang semakin besar begitu juga ketika kita minta kesabaran yang diberikan adalah sgala hal yang mengesalkan hati. Sama halnya jika ingin naik kelas maka harus hadapi ujian toh? Mari kita belajar untuk berserah diri pada Illahi sebab jika kita berjalan sendiri yang ada hanyalah sepi dan sakit hati...(makasih banyak kak Tonggo).

Ketika kita sudah merasa aman dan nyaman..berarti ada yang salah dengan kita. Kita tinggal di dunia ini dan kita adalah warga kerajaan surga dan memang sudah sewajarnya tidak ada tempat yang nyaman untuk kita disini. Kalau kita sudah merasa nyaman saat ini dibumi ini, maka ini perlu dipertanyakan kalau memang kita benar2 anak Tuhan...karena itu tetaplah lakukan hal yang benar dan adil sekalipun keadaan semakin tidak nyaman...(makasih Karin).

Yakobus 1:2-3, Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.

Thursday, November 15, 2007

Mak Comblang

“Apa yang menjadi kriteria kamu mencari cowok ?”

“hmmm…sebenarnya, membuat kriteria cowok yang saya inginkan pun saya tidak bisa,” kata Ana puas dengan jawaban yang terucap karena tidak perlu berfikir menjelaskan kriteria pria yang dia idamkan kepada bibi Dani.

“Pintar jawaban anak kita, mungkin karena sudah disekolahkan. Kalau kata kami ya, dia itu sudah baik banget. Kamu itu cocok banget untuknya.”

”Belum tentu dia merasa cocok dengan aku. Kata teman-temanku, aku ini kadang musingin. Tar dia pusing lagi kalo ngobrol ma aku”.

”Tapi memang benar juga, ibu aja suka pusing kalau dengar jawaban-jawaban kamu.”

Ana sudah mulai gerah dengan obrolan dengan bibinya yang sedang melakonkan peran mak comblang. Kalau semua pernyataan dan obrolannya dijawab dengan menunjukkan rasa tidak suka yang frontal maka akan panjang dampaknya. Dan tentunya dia akan selalu disalahkan dan dianggap belum menikah karena terlalu milih-milih. Dengan sabar, Ana tetap meladeni semua perkataan bibi yang sudah sejam menasihatinya supaya berfikir untuk segera menikah.

”Bagaimana mau ya dijodohin? Kamu coba kenalan saja dulu dengan dia. Dia memang tidak punya titel. Tapi sudah punya usaha sendiri. Bibik tuh pengen banget kenalin yang terbaik untuk kamu...tapi kalau yang pria mapan yang punya gelar, bibi belum punya kenalan.” Ana hanya senyum saja menanggapi penjelasan bibi yang penuh semangat.

”Sebenarnya ada dua cowok yang bisa dikenalin...tapi yang satu itu kurang baik untuk kamu. Sebenarnya dia baik tapi pergaulannya belum tentu sesuai ma kamu. Kalau bibi liat sih susah nanti ke depannnya. Dia itu suka clubbing dan kadang suka minum. Nah yang begini ini sulit nantinya dikeluarga kita. Tapi kalau yang satu lagi, walaupun usahanya cukup bagus tapi dia selalu terlihat biasa saja. Orangnya baik dan suka menolong. Postur tubuhnya mirip ma abang kamu, papanya Ray. Penampilannya sederhana dan orangnya jujur dan terbuka. Persis kayak Bapak kamu loh... Bagaimana, Na?”

”Hehehe...saya mah gampang aja kok..kalau dia baik. Gak masalah lah...pokoknya mudah aja. Lagian, dia juga belum tentu mau ma aku.”

”Garansi...dia mau banget kalau menikah ma anakku. Kamu kan anakku juga, Na. Dengerin ya Na..kenapa bibi pikir dia cocok ma kamu. Kemarin, bibi nanya apa kriteria cewek yang mau dia jadikan istri. Sebenarnya banyak banget cewe yang suka ma dia. Gimana enggak, dikota kecil kita ini dia sudah berhasil dengan usahanya di usia yang masih muda. Katanya, dia mencari istri yang bisa mandiri. Kalau istrinya mau bekerja, boleh. Kalau di rumah saja juga boleh. Trus katanya kalau istrinya mau bantu usaha yang dijalankan nya saat ini juga boleh, tapi akan lebih baik kalau istrinya punya ide untuk jalankan usaha sendiri, lebih baik dibuat saja yang baru. Karena yang dia kerjakan sekarang ini sudah berjalan dengan baik, tar kalau dimasuki orang baru malah jadi sulit kalau tidak searah pikiran untuk memajukannya. Nah menurutku kamu cocok dan bisa menjadi pendamping untuknya. Gimana? Kamu harus sudah mulai memikirkan menikah, Na”.

”Iya..pasti tar kalau sudah sampai waktunya, aku juga menikah lah..”

”Kita harus berusaha juga untuk mencari seseorang yang akan menikahi kita perempuan ini. Na, kamu sebenarnya sudah punya pacar belum sih? Kalau sudah, kamu bawa ke rumah trus sudah bisa dibicarakan untuk menikah dengan pacar kamu itu”.

”Ana gak punya pacar, Bi!”

”Kalau gitu, bibi sarankan kamu kita kenalin dengan cowok yang bibi bilang tadi”

”Santai aja lagi bi, paling tar dia yang belum tentu mau sama aku. Aku mah orangnya gampang kok..gak punya tuntutan macam-macam.”

”Kamu jawabanya selalu ’gampang’, ini serius. Kamu harus lihat dulu gimana orangnya. Jangan langsung ’IYA’ aja. Tapi kalau memang enggak suka, jangan dipaksanakan juga untuk nyenengin hati kami orang tua ini. Memang kami memikirkan yang terbaik untuk kalian anak-anak kami. Tapi kami gak mau juga memaksakan kehendak. Kami ingin kamu lihat dulu orangnya, dan kalau memang suka dikit aja. Tar baru bibi yang bicara sama dia. Sekarang kamu siap-siap, kita akan ke tempat teman bibi di dekat kantornya. Bibi memang ada urusan ke rumah teman itu siang ini. Trus tar bibi ajak ngobrol dia, kamu liat orangnya ya.”

”Apa? Enggak usah ah...malas. Aku percaya kok ma bibi. Kata bibi dia baik, dan manis aku juga percaya kok bi. Gak usahlah sampai segitunya kesana untuk liat dia ya... ya..bi..ya bi.. Enggak usah ya..”

”Ini..kamu ini persis seperti bibi waktu muda. Kalau ngomong jawab semua baik-baik. Tapi sebenarnya enggak mau. Bibi kenal banget jawaban-jawaban seperti itu. Kalau kamu sudah punya calon untuk dijadikan suami, kami juga gak akan menghalangi. Tapi kalau kami suruh kamu menikah, tanpa mencarikan calon suami..kan itu namanya kami juga keterlaluan kan?”

”Waduh...iya deh. Tapi berangkatnya sejam aja lagi ya bi. Aku belum mandi.”

”Na, bibi memikirkan yang terbaik kok untukmu. Cowo ini teman baik bibi, dan bibi juga akan memberikan anak bibi yang terbaik untuknya. Kamu tahu kan, kalau ada Tina anak kandung bibi yang sudah gadis. Tapi bibi gak yakin ma Tina. Bibi gak mau kalau menjodohkan Tina ma dia, karena Tina belum tentu bisa mandiri dan bibi pikir Tina enggak sesuai dengan perempuan yang dia cari untuk dijadikan istri. Kamu yang sesuai, Na. Makanya bibi pikir, gak ada salahnya kamu liat dulu bagaimana orangnya.”

”Sekarang kamu siap-siap ya.”

”Kak, Ana harus lihat dulu orangnya. Supaya nanti kalau memang mereka jodoh dan dikemudian hari ada masalah..dia enggak menyahkan kita kan kak? Bibi meyakinkan ibunya Ana bahwa yang dilakukannya sudah benar dan sangat bijak.

Ibu Ana tersenyum dan mendukung apa yang dikatakan bibi Dani.

***tar dilanjutin****

Sunday, November 11, 2007

Minggu Pagi

Hampir jarang sekali aku mendengarkan siaran radio selama di Kabanjahe. Pagi ini radio Bayu menemani aku mengetik, menggunakan waktu sebentar yang masih ada sebelum siap-siap berangkat ke gereja untuk kebaktian Minggu. Masih jam 7.50 pagi, waktu berdiam diri dan mencoba mendekatkan diri kepada Sang Pencipa sudah selesai, walaupun dilalui dalam keadaan membagi perhatian dengan kesibukan di belakang rumah.

Kemarin pengen sekali menulis..apalagi kemarin adalah 10 Nov merupakan hari pahlawan. Sedikit waktu aku gunakan ngobrol dengan bapak tentang hari Pahlawan, tapi tidak mudah untuk menuliskannya. Rasanya saluran pikiran tentang Pahlawan mampet untuk diungkapkan melalui tulisan. Namun membicarakannya juga sepertinya kami kehilangan benang merah antara saat-saat mengapa 10 Nov menjadi hari pahlawan sampai sekarang ini. Manusia sudah lebih mementingkan diri sendiri, kata Bapak. Sulit mencari orang untuk mengorbankan harta benda, bahkan jiwa raga untuk kepentingan masyarakat luas. Bahkan saat ini yang muncul adalah seorang yang berpengaruh merugikan masyarakat luas untuk kepentingan sendiri. Kebanyakan seperti itu, bahkan yang tidak melakukannya bukan karena mereka lebih baik dan suci tetapi mungkin karena kesempatan untuk itu yang tidak ada. Aku hanya mengiyakan apa yang dikatakan Bapak.

Sampai tertidur malam tadi, menulis tidak kunjung terwujud. Kabanjahe dingin sekali, hampir tiap hari hujan gerimis. Namun pagi ini cukup cerah dibanding hari kemarin walaupun awan masih kelabu. Sudah tiga malam kami lalui dengan membaca Firman bersama-sama. Hari pertama, Bapak, Mamak dan Aku membaca Efesus, dan diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Mamak. Dia mendoakan kami anak-anaknya satu persatu. Hari kedua dan hari ketiga, hanya aku dan Mamak yang membaca Alkitab. Bapak duduk diantara kami dengan membaca bacaannya sendiri. Katanya dia kesulitan membaca bersuara. Tadi malam, Bapak membaca buku Pahlawan Iman, tentang George Muller. Kami tidak memaksa Bapak untuk ikutan bersama kami, karena dia punya program sendiri setiap hari baca 3 pasal. Hanya mamak yang kadang kesulitan kalau membaca sendiri, langsung ngantuk katanya. Jadinya membaca bersama-sama akan menolong mamak dan saya juga..giliran berdoa, kami melakukannya bertiga.

Terkadang selesai berdoa, semua beban rasanya ringan. Tapi pagi harinya, aku kembali dipenuhi pergumulan dan kebingungan akan kehidupanku yang ada di depan. Apakah aku memutuskan untuk keluar dari Sumut secara permanen, atau memutuskan tetap di Medan atau di Kabanjahe untuk menyelesaikan tanggung jawabku di PERMATA. Semua perlu dievaluasi, itu sering aku katakan kepada diriku. Aku tidak tahu apakah ini hanya untuk menentramkan hatiku, untuk keputusan yang aku ambil. Dua malam yang lalu, aku semakin bingung ketika pertanyaan untuk melanjutkan apa yang sedang aku lakukan di Bandung mempertanyakan aku apakah mau diberi tanggung jawab atau tidak? Ketika Bapak tahu itu, dia menyarankan aku supaya melanjutkan kesempatan itu. Bagaimana dengan PERMATA, pak? Tanyaku. Balik dua bulan sekali ke sini untuk PERMATA, Nom. Bisa-bisa habis tabunganku, Pak, jawabku. Bapak yang biayai ongkos kesini, kata Bapak menentramkan hatiku. Aku makin bingung kan?

Dulu aku punya semangat dan keberanian yang sangat jauh berbeda dengan saat ini. Apakah ini indikator bahwa aku jauh dari Tuhan dan hanya mengandalkan pikiranku saja? Hmmm...kemarin 10 Nov hari pahlawan, bukan berarti yang ada zaman sekarang ini di Indonesia hanya pahlawan kesiangan, bukan?

Aku punya Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, yang menjadikan aku...Allah Yang Maha Tahu, bahkan yang ada sebelum waktu digariskan, Dia sudah tahu semuanya. Kenapa aku tidak memalingkan wajahku kepadaNya? Aku terlalu sering memandang persoalan-persoalan saja, sehingga Allah Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa itu menjadi tersembunyi dari pandanganku. Aku terlalu sibuk denga`````n pikiranku sehingga suara Tuhan yang berbisik lembut tidak terdengar lagi.. Tuhan tolong aku menjalani jalan-jalan ini.

Penyiar Radio Bayu sedang sibuk membacakan kiriman lagu. Aku juga sudah harus mengakhiri nge-blog, siap-siap untuk kebaktian pagi jam 9.00Wib.

Selamat Hari Minggu untuk teman-teman semua dimana saja.
Tuhan memberkati

Monday, November 05, 2007

Duduk di dekat jendela pesawat, membuatku bisa melayangkan pandangan sejauh awan-awan yang terbentang. Langit biru membuat taburan gumpalan awan begitu indah. Aku lebih tertarik memandang melalui jendela daripada melirik orang yang duduk di sampingku. Kusenderkan kepala ke sandaran kursi tanpa mengubah arah pandangan dan berharap sebentar lagi aku akan terlelap dalam perjalanan dua jam itu.

“Kamu mau kemana? “ “Mau ke Berastagi, ibu saya di berastagi”
“Sendiri saja? Kamu tinggal dimana? Orang Karo ya?”
“Saya tinggal di Kupang. Iya, saya orang Karo Beru Tarigan. Anak saya seorang dan tinggal bersama bapaknya. Saya sebentar saja ke Berastagi ingin melihat mamak.”

Pembicaraan ini berlangsung di tempat duduk persis di belakangku, dan mendorong aku untuk menanyakan orang yang duduk disamping aku. Kualihkan pandangan dari luar pesawat ke ibu yang duduk di sebelahku. “Ibu mau kemana?” “Mau ke Medan.” “Ibu tinggal dimana?” “Tinggal di Medan.” “Ada acara di Jakarta, ya Bu?” “Anakku kecelakaan ditabrak mobil. Seminggu opnam di RS Cikini. Padahal dia sedang hamil 3 bulan. Nanti kalau sudah sembuh, dia akan ke medan sampai melahirkan di Medan saja.” “Ibu aslinya orang apa?” “Aku orang Karo.” “Oh…Beru kai Kam, Bi?” “Beru Tarigan. Kam pe kalak Karo? Beru kai kam?” “Aku beru Sinulingga, Bi. Kami tading i Kabanjahe.”

Separuh perjalanan aku lalui dengan terlelap. Ketika bangun, dinginnya AC terasa menusuk sampai ke tulang. Aku ke toilet, karena sesak pipislah yang membangunkanku. Sweater yang aku pakai ternyata tidak cukup memberi kehangatan. Selendang yang aku pakai menyelimuti tubuh sangat menolong. Ketika aku lihat ibu tadi, aku sangat merasa kasihan karena dia tidak membawa baju hangat. Dia keluarkan tangannya dari lengan bajunya dan dia melipat seluruh tangannya didalam bajunya. Itu cukup baik supaya keseluruhan tubuh sampai ujung jari tangan tertutup kain untuk mengurangi rasa dingin. Aku sentuh bahu ibu itu dan menawarkan berbagi seledang yang aku pakai. Dia keluarkan tangannya dari lengan bajunya, dan mengambil bagian ujung selendang yang aku sodorkan. Lumayan hangat, dan ibu itupun tertidur sementara aku menikmati memandang hamparan awan putih yang tebal.

Sepuluh menit menjelang pesawat akan landing, aku manfaatkan untuk ngobrol dengan ibu disebelahku. Dari Polonia dia akan ke rumah anaknya di Simpang Kuala. Aku mengajaknya untuk bareng, karena aku juga akan ke Simpang Kuala dan meneruskan perjalanan ke Kabanjahe. Waktu turun dari pesawat, aku bingung melihat ibu itu karena dia tidak memiliki barang. Melihat aku kebingungan, dia bilang kalau hanya punya tiga buah baju di dalam kantung yang dia bawa. Aku mengambil bagasiku dan melanjutkan perjalanan bersama ibu ini. ”Piga anakndu, Bi?” ”Enam” ”Siapa yang beli tiket pesawatndu, Bi ?” ”Suami anakku.” ”Berapa usiandu, Bi ?” ”48 tahun”. ”Usia berapa kam dulu menikah, Bi ?” ”18 tahun.” ”Sudah berpapa anakndu yang menikah, Bi?” ”Dua orang.” ”Bapak kenapa enggak ke Jakarta ras kam, Bi ?” ”Lalit sen kami. Janah ia harus erdahin. Kami erdahin i Kebun. Aku pe harus mulih karena harus kerja di Kebun.”

Banyak hal bagiku untuk dipelajari dan direnungkan dalam perjalanan bersama ibu ini. Usia 48 tahun cukup muda bila dibandingkan dengan kerut di wajah, mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Ibuku yang berusia 56 tahun terlihat jauh lebih muda saat aku pandang ibu itu. Mungkinkah perjalanan hidupnya yang sudah berkeluarga dan beranak sejak usia 18 tahun menelan masa mudanya sehingga terlihat begitu tua?
Kami turun di Simpang Kuala dan aku membayar ongkos, dan menolak uang ibu itu. Toh...ibu itu bersama aku atau aku sendiri saja tidak akan mengubah ongkos yang aku bayar. Siapa tahu pulang bersama ibu itu akan memberi sedikit pertolongan kepadanya. Melakukan hal itu membuat aku merasa bahagia, bisa berbagi dengan orang yang membutuhkan.

Sampai di rumah, aku menceritakan perjalananku kepada Bapak. Aku menceritakan tentang ibu yang duduk disebelahku di pesawat. Ternyata membukan diri untuk mengobrol dengan orang asing, memberikan kisah kehidupan yang begitu berharga. Aku bersyukur dengan dua jam lebih perjalanan itu...karena membuat aku semakin mengingat Pencipta dan dimampukan untuk mengucap syukur dalam keseluruhan kehidupan yang aku miliki.

Friday, November 02, 2007

Antrian

Mata berat namun masih bisa diajak kompromi, menyeret kaki diantara kerumunan. Pukul 3.30 pagi, sudah sampai di bandara Sukarno Hatta. Antrian yang panjang, dan kursi-kursi yang ada sesak dianara barang-barang dan manusia. Ada sedikit celah diujung kursi yang paling dekat dengan pintu masuk bandara. Ku dorong troly bergegas untuk mengistirahatkan kaki yang sudah mulai pegal berdiri.

Entah kemana semua tujuan orang yang antri itu, pikirku. Beberapa saat semua mengalami saat-saat yang sama, yaitu antri. Namun hanya sesaat lagi pula mereka akan mencari gate masing-masing untuk melanjutkan rutinitas menjadi penumpang pesawat. Mungkin aja masih ada yang akan menuju gate yang sama. Setelah itu duduk di ruang tunggu dan bisa kemudian naik pesawat yang berbeda dengan tujuan masing-masing tapi mungkin juga naik pesawat yang sama.

Aku duduk mengamati anrian. Jadwal penerbanganku masih ada beberapa jam lagi sehingga aku enggak ikut dalam antrian yang sesak itu. Orang-orang yang antri itu, kemungkinan besar ada yang bukan berasal dari kota ini. Tapi sekalipun mereka tinggal di dalam kota ini atau juga malah di sekitar bandara ini, tentunya mereka pagi-pagi sekali dari rumah. Setidak-tidaknya sejam yang lalu sudah keluar rumah sekiar jam 2.30 pagi. Kalau yang tinggal di luar kota, mungkin sudah mulai proses perjalanan ini sejak hari kemarin. Karena hari kemarin baru diakhiri 3,5 jam yang lalu.

Antrian itu semakin bertambah seiring dengan berkurangnya antrian itu karena sudah selesai melewati bapak yang mengecek tiket di pintu masuk. Tapi antrian itu tetap aja bertambah panjang, bahkan kursi yang aku duduki menjadi lebih dekat ke pintu dibanding ujung antrian. Mengamati antrian ini ternyata tidak mampu membendung rasa ngantuk. Sudah sepuluh kali aku menguap, dna rasa lapar juga mulai mengusik. Rasa pusing mulai mencoba mengalihkan perhatianku dari antrian tapi mulai tertuju kepada diri sendiri. Aku merebahkan kepala ke tumpukan tas yang ada di atas troly. Tertidur dalam keadaan terjaga karena tetap menyadari kalau antrian itu tetap bergerak. Ketika aku angkat kepala, dengan samar terlihat jam sudah menunjukkan pukul 5.10. Pandangan yang tidak terang dan rasa pusing yang mengganggu karena kurang tidur sedikit terobati ketika aku menghabiskan bekal yang aku bawa. Terasa sedikit kesegaran yang mengalir. Aku berdiri, mendorong troly dan masuk dalam antrian.

Aku mendapat seat no 5A. Sesampai di ruang tunggu gate A3, aku mencari buku yang aku baca untuk mengisi waktu dalam menunggu. Ternyata dalam tas yang aku jinjing, buku itu tidak ada. Aku coba memastikan apakah buku Norman Vincen Peale yang sudah aku siapkan untuk dibawa sebagai bacaan selama perjalanan memang benar2 aku bawa. Rasanya tidak juga masuk ke tas yang ada di bagasi. Kemungkinan masih tergeletak di atas tempat tidur di Bandung. Aku mencoba cari kertas dan bolpen yang biasa ada di tas juga gak ketemu. Tadi berharap bisa mengoret-ngoret kertas menunggu jadwal penerbangan.


Meletakkan kepala diatas tas dan melanjutkan tidur menjadi penolong membunuh rasa bosan menunggu melanjutkan perjalanan ke Medan.

Thursday, November 01, 2007

If GOD Will

Sudah hampir dua bulan aku di Bandung...ada hal yang dikerjakan, digumulkan dan juga di evaluasi. Kadang mimpi dan cita-cita masa kecil mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang dipikir oleh orang lain "untuk apa melakukan itu ?".

Selama di Bandung, aku tetap dapat kabar dari teman2 di Kabanjahe sekitar...walopun boleh dibilang banyakan bukan dari pengurus PERMATA Pusat tapi dari teman2 pengurus Klasis.Ada sms tentang Rika Ginting (PKMKJ) yang tabrakan, dan untung hanya sedikit lecet2.

23 Oktober tadi, Beni Surbakti, PK Laubaleng sms aku kalau ada pengurus Lau BAleng yang meninggal dunia karena tabrakan. Hmmm, masih muda pikirku. Masih muda sekali, dia sudah kembali ke rumah bapa. Turut berduka cita dan doa untuk keluarga yang ditinggal..menjadi ungkapan balasan sms terakhir dariku. Kemudian Pionerta Pinem (Anggota Partisipasi PP, juga mengabari tentang meninggalnya teman ini).

Sabtu, 27 Oktober 2007 tadi... Irwan Ginting (Kabid Pembinaan PP) sms aku, kalau Rispa (Kabid Konsolidasi PP) tabrakan di depan RC dan sedang koma di ICU RS. Elisabeth Medan. Pionerta Pinem juga sms menanyakan apakah aku dapat kabar ttg Rispa. Hari Minggu, kak Mega Tarigan nelpon aku, dia memberikan informasi lebih banyak lagi tentang Rispa. Dari gambaran yang diberikan oleh kak Mega, aku bisa membayangkan kalau keadaan Rispa sangat kritis. Andi dan Thomas juga sms kalau Rispa masih koma sampai tadi malam.

Rapat Rutin PP terakhir yang aku ikuti bulan September lalu di rumah Rispa. Mendengar Rispa koma seperti ini aku juga jadi ingat keluarganya. Betapa beratnya beban keluarga ini.Pagi ini aku merenungkan tentang hidup. Masa muda yang seharusnya penuh semangat, tidak memiliki rasa takut untuk suatu yang benar yang diimani untuk dilakukan dalam hidup. Banyak rencana yang ingin dilakukan... untuk diri sendiri, untuk pelayanan, untuk keluarga dan juga untuk banyak hal lain...

Berhenti sejenak untuk melihat teman yang sudah menutup usia pada masa muda dan juga yang saat sedang melalui masa-masa kritis. Bukankah kalau masih diberi hidup dan kesempatan menjalani masa muda ini, kita seharusnya tahu apa yang terpenting untuk dilakukan. Penting dan berguna untuk kemuliaan TUHAN YEsus... KEnapa "Takut akan TUHAN" aku abaikan ? Bukankah TUHAN lebih diutamakan dari semua ??

MEngapa kita lebih takut akan dunia ini daripada akan TUHAN??

Hari ini aku menulis judul curhatan ini..."If God Will" karena pagi ini komunikasiku dua arah yang kedua dalam memulai hari adalah dengan kak Tio... Ketika dia tanya kabarku dan aku ceritakan rencanaku ke depan untuk sebulan ini...dia membalas dengan "If God Will". Jujur itu sangat menyentuh hatiku...apalagi aku mengingat kondisi Rispa, teman sepelayanan di PERMATA Pusat. Kita masih bisa melakukan banyak hal positif yang menyenangkan TUHAN hari ini selain mengeluh....

Teman2 dukung doa ya..Rispa Ginting, Kabid Konsolidasi PP, yang saat ini sedang Koma di RS ELisabeth Medan.Juga doakan keluarganya agar diberi kekuatan oleh TUHAN melalui masa-masa sulit ini.

Aku ingin tetap mengingat bahwa :
KEtika kita takut akan TUHAN maka kita tidak akan memiliki ketakutan apapun dalam hidup ini. Namun pada saat kita TIDAK takut TUHAN maka kita akan takut akan apapun dalam hidup ini.


Tuhan memberkati