Monday, November 05, 2007

Duduk di dekat jendela pesawat, membuatku bisa melayangkan pandangan sejauh awan-awan yang terbentang. Langit biru membuat taburan gumpalan awan begitu indah. Aku lebih tertarik memandang melalui jendela daripada melirik orang yang duduk di sampingku. Kusenderkan kepala ke sandaran kursi tanpa mengubah arah pandangan dan berharap sebentar lagi aku akan terlelap dalam perjalanan dua jam itu.

“Kamu mau kemana? “ “Mau ke Berastagi, ibu saya di berastagi”
“Sendiri saja? Kamu tinggal dimana? Orang Karo ya?”
“Saya tinggal di Kupang. Iya, saya orang Karo Beru Tarigan. Anak saya seorang dan tinggal bersama bapaknya. Saya sebentar saja ke Berastagi ingin melihat mamak.”

Pembicaraan ini berlangsung di tempat duduk persis di belakangku, dan mendorong aku untuk menanyakan orang yang duduk disamping aku. Kualihkan pandangan dari luar pesawat ke ibu yang duduk di sebelahku. “Ibu mau kemana?” “Mau ke Medan.” “Ibu tinggal dimana?” “Tinggal di Medan.” “Ada acara di Jakarta, ya Bu?” “Anakku kecelakaan ditabrak mobil. Seminggu opnam di RS Cikini. Padahal dia sedang hamil 3 bulan. Nanti kalau sudah sembuh, dia akan ke medan sampai melahirkan di Medan saja.” “Ibu aslinya orang apa?” “Aku orang Karo.” “Oh…Beru kai Kam, Bi?” “Beru Tarigan. Kam pe kalak Karo? Beru kai kam?” “Aku beru Sinulingga, Bi. Kami tading i Kabanjahe.”

Separuh perjalanan aku lalui dengan terlelap. Ketika bangun, dinginnya AC terasa menusuk sampai ke tulang. Aku ke toilet, karena sesak pipislah yang membangunkanku. Sweater yang aku pakai ternyata tidak cukup memberi kehangatan. Selendang yang aku pakai menyelimuti tubuh sangat menolong. Ketika aku lihat ibu tadi, aku sangat merasa kasihan karena dia tidak membawa baju hangat. Dia keluarkan tangannya dari lengan bajunya dan dia melipat seluruh tangannya didalam bajunya. Itu cukup baik supaya keseluruhan tubuh sampai ujung jari tangan tertutup kain untuk mengurangi rasa dingin. Aku sentuh bahu ibu itu dan menawarkan berbagi seledang yang aku pakai. Dia keluarkan tangannya dari lengan bajunya, dan mengambil bagian ujung selendang yang aku sodorkan. Lumayan hangat, dan ibu itupun tertidur sementara aku menikmati memandang hamparan awan putih yang tebal.

Sepuluh menit menjelang pesawat akan landing, aku manfaatkan untuk ngobrol dengan ibu disebelahku. Dari Polonia dia akan ke rumah anaknya di Simpang Kuala. Aku mengajaknya untuk bareng, karena aku juga akan ke Simpang Kuala dan meneruskan perjalanan ke Kabanjahe. Waktu turun dari pesawat, aku bingung melihat ibu itu karena dia tidak memiliki barang. Melihat aku kebingungan, dia bilang kalau hanya punya tiga buah baju di dalam kantung yang dia bawa. Aku mengambil bagasiku dan melanjutkan perjalanan bersama ibu ini. ”Piga anakndu, Bi?” ”Enam” ”Siapa yang beli tiket pesawatndu, Bi ?” ”Suami anakku.” ”Berapa usiandu, Bi ?” ”48 tahun”. ”Usia berapa kam dulu menikah, Bi ?” ”18 tahun.” ”Sudah berpapa anakndu yang menikah, Bi?” ”Dua orang.” ”Bapak kenapa enggak ke Jakarta ras kam, Bi ?” ”Lalit sen kami. Janah ia harus erdahin. Kami erdahin i Kebun. Aku pe harus mulih karena harus kerja di Kebun.”

Banyak hal bagiku untuk dipelajari dan direnungkan dalam perjalanan bersama ibu ini. Usia 48 tahun cukup muda bila dibandingkan dengan kerut di wajah, mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Ibuku yang berusia 56 tahun terlihat jauh lebih muda saat aku pandang ibu itu. Mungkinkah perjalanan hidupnya yang sudah berkeluarga dan beranak sejak usia 18 tahun menelan masa mudanya sehingga terlihat begitu tua?
Kami turun di Simpang Kuala dan aku membayar ongkos, dan menolak uang ibu itu. Toh...ibu itu bersama aku atau aku sendiri saja tidak akan mengubah ongkos yang aku bayar. Siapa tahu pulang bersama ibu itu akan memberi sedikit pertolongan kepadanya. Melakukan hal itu membuat aku merasa bahagia, bisa berbagi dengan orang yang membutuhkan.

Sampai di rumah, aku menceritakan perjalananku kepada Bapak. Aku menceritakan tentang ibu yang duduk disebelahku di pesawat. Ternyata membukan diri untuk mengobrol dengan orang asing, memberikan kisah kehidupan yang begitu berharga. Aku bersyukur dengan dua jam lebih perjalanan itu...karena membuat aku semakin mengingat Pencipta dan dimampukan untuk mengucap syukur dalam keseluruhan kehidupan yang aku miliki.

2 comments:

selfi said...

blog kam kali ini mengingatkanku jg utk tidak selalu tidur atau asik sendiri dgn kegiatanku selama di perjalanan yg agak panjang dan lama hehehe...

thanks nom!

Nomi br Sinulingga said...

iya sel...sering sekali kita lebih sibuk ma diri kita sendiri. Padahal ketika kita mulai peduli keorang lain, kita juga yang diperkaya ya...

Thx komennya ya sel..