Thursday, April 12, 2007

Kam kalak Karo si uga ?

Diskusi mengenai Karo memang suatu yang tidak ada habisnya. Semua tergelitik untuk memberikan pendapat, mungkin karena merasa eksistensinya sebagai orang Karo sedang dipertanyakan. Namun yang diam juga mungkin akan mencoba untuk berfikir tentang topik ini. Dalam diskusi dan mencoba menjelaskan Karo itu siapa, muncul juga pendapat yang memberikan karakteristik menjadi orang Karo. Hal ini seakan menjadi filter sehingga banyak manusia yang memiliki merga silima ini tereliminasi sebagai orang Karo, karena tidak memenuhi
kriteria. Menjadi semakin lucu juga diskusi ketika tanggapan dilontarkan, "ada bagena kin maka kalak Karo..bandu saja Karondu ena. La pe jadi kalak Karo labo mate".

Jujur saja, saya ketawa-ketiwi sendiri membaca semua diskusi ini (tapi bukan mentertawakan dalam arti negatif loh..). Walaupun saya tidak memberikan komentar apa-apa mengenai topik diskusi ini. Tetapi hal ini telah mengajak saya untuk berpikir tentang "Enda Karo Ndai" (kayak tulisan di Kaos "Juma Cyber, www.permatagbkp. com")

Menjadi pengamat diskusi mengenai topik "Karo" ini dan tidak memberikan komentar bukan berarti diam tidak peduli. Saat ini saya ingin mencoba menuliskan apa yang saya pikirkan. Dari pada hanya berpikir dan berpikir, saya posisinya dimana tentang "Karo Enda Ndai"? Lebih baik mengakhiri berpikir dengan menuangkannya menjadi serentetan kalimat yang bisa mewakili apa yang ada di kepala. (Lagian Nom…emang kerjamu hanya berpikir tentang Karo).

Berbicara budaya, memang bukan kemampuan saya. Tetapi menuliskan apa yang ada di dalam pikiran saya mengenai budaya saya pikir sah-sah saja. Menuangkan pemikiran tentang budaya ini melalui serentetan
kata-kata yang akan membentuk kalimat yang gak jelas dari pikiran yang kurang jelas juga tentang budaya. Tapi itu lebih baik daripada berdiam diri. Siapa tahu setelah dimuntahkan ke dalam kalimat, sedikit akan menolong saya memahami budaya itu.
Budaya dapat dipandang dalam dua segi. Budaya yang ada di dalam suatu komunitas (misal masyarakat Karo) dan juga budaya hidup individu (misal Nomi br Sinulingga yang orang Karo). Tentunya ketika kita berbicara budaya secara komunitas maka hal ini bisa menjadi bagian dari budaya individu. Namun ketika kita melihat budaya hidup beberapa individu dari komunitas yang sama dan menariknya menjadi budaya sebuah komunitas, tentunya ini belum tentu benar. Bahkan lebih sering jadi rancu dan banyak pertentangan daripada diterima dengan mudah.

Budaya komunitas adalah misalnya budaya Karo. Dalam pikiran saya yang sempit ini saya sering sekali melihat budaya suatu komunitas dari tarian daerah, nyanyian daerah, rumah adat, pakaian adat, dan acara-acara adat lainya . Bagaimana adatnya kalau ada orang Karo yang meninggal. Bagaimana adat dalam pernikahan, dan banyak lagi adat budaya dalam komunitas yang berlaku kepada banyak orang (masyarakatnya) . Namun adat ini juga semakin fleksibel dengan majunya zaman. Dalam menilai adat budaya pada saat ini kadang dipilah-pilah juga, ada hal-hal yang esensi dan tidak bisa dihindari, tetapi sering juga ada hal-hal yang dikompromikan untuk
dieliminasi ketika kita melakukan kegiatan adat tersebut. Ini adalah perjalanan kehidupan masyarakat Karo yang tidak bisa dihindari ketika kita menyadari diri kita adalah orang Karo (kecuali kalau gak sadar..ya, banci kange siban saja uga ukurta meriah..me bage :) ). Sebagai orang Karo namun kita menghindari aturan adat istiadat dan
budaya Karo, mungkin kita akan dicap tidak beradat.

Tetapi ketika kita berbicara mengenai budaya hidup secara individu, tentu sekali budaya komunitas (budaya Karo) dimana kita bagian didalamnya mempengaruhi perjalanan hidup individu. Namun seorang orang Karo memiliki proses hidup dan pengalaman yang berbeda satu dengan yang lain. Tentunya hal ini mempengaruhi budaya hidupnya secara pribadi. Orang Karo yang lahir dari ayah dan ibu orang Karo di Eropa tentu memiliki kehidupan dan budaya yang berbeda dengan orang Karo yang lahir di Lingga, apalagi kalau dia sampai menutup usia tetap di Lingga. Namun keduanya akan tetap sama-sama orang Karo.

Saat ini tidak ada budaya yang murni. Tapi bisa juga disebut, semua budaya murni (nah loh..aku jadi bingung sendiri). Berbicara budaya adalah berarti berbicara kehidupan. Setiap kehidupan adalah murni dan memang tidak bisa dipaksanakan agar semua orang benar2 memiliki pengalaman hidup yang sama. Toh dari sononya dah beda
kan.. Dalam pemikiran yang sempit dan terbatas ini, saya tahu saya orang Karo murni, lahir dari keluarga Karo. Bapak Merga Sinulingga dan Mamak beru Ginting Manik. Saya orang Karo asli, walaupun saya kurang
pandai dalam bertutur, tidak jago landek, dan juga tidak mengerti adat istiadat orang Karo. Namun kemanapun saya pergi saya akan tetap orang Karo bahkan ketika mati nanti dan orang mengingat saya maka saya adalah orang Karo. Tetapi berbicara budaya, pemikiran dan juga nilai-nilai yang saya hidupi secara pribadi, saya tahu bahwa budaya, nilai-nilai dasar dalam hidup saya adalah nilai-nilai budaya Karo. Dalam keterbatasan saya juga saya hanya berani menyebutkan bahwa hidup saya ini adalah pengaruh dari banyak budaya, banyak nilai-nilai dan juga banyak pemikiran. Hal ini tentunya saya dapat dari pengalaman hidup, yang mungkin hanya 60%
perjalanannya saya alami di Tanah Karo dan sisanya di tempat lain, dari buku-buku yang ditulis oleh berbagai penulis yang hadir dari abad-abad yang berbeda dan berbagai tempat di seluruh dunia ini. Semua ini tentunya mempengaruhi seorang individu, mempengaruhi nilai- nilai kehidupan yang diyakini dan juga cara berfikir menilai
kehidupan ini.

Budaya itu berubah dan sangat mudah dipengaruhi dan mempengaruhi. Semua budaya itu murni. Hanya saja ketika kita mengacu ke satu budaya pada waktu tertentu dan menyebutkan itu yang murni, dan kita ingin kembali ke budaya yang sudah berlalu itu. Tentunya hal ini akan memaku kita pada suatu era, dan tentunya ini tidak baik untuk era globalisasi ini. Bukan berarti saya tidak setuju belajar tentang kebudayan nenek moyang. Jujur saja, saya setuju sekali untuk belajar dari masa lalu, mengambil nilai-nilai di dalamnya dan tentunya ini akan mempengaruhi kita memandang ke depan. Toh kehidupan selalu melaju ke depan. Jadi penting banget menoleh ke belakang untuk memperjelas yang di depan.

Kita hidup bermasyarakat dengan suku bangsa yang lain, dan budaya manusia yang variatif ini bersinggungan. Nilai-nilai kehidupan juga saling mempengaruhi dan juga pemikiran sering dipertentangkan sehingga dari pemikiran yang macam-macam selalu lahir pemikiran baru. Inilah hidup, semua dinamis dan tidak berhenti berubah. Seorang individu yang menjadi bagian dari suatu komunitas tentunya, kehidupannya dipengaruhi inter-budaya, inter-nilai dan inter-pemikiran tanpa menghilangkan budaya yang dia punya yang sudah
dibawa dari sononya.

Hidup (budaya) memang sering sekali sulit dipahami, ketika kita berada di ujung suatu pemikiran dan mengatakan bahwa orang Karo berarti begini-begini dan begono mungkin tidak mendarat bagi orang
Karo itu sendiri. Tetapi ketika kita ingin menghindari ujung itu tapi lari ke ujung yang satu lainnya dan bilang bahwa "la pe jadi kalak Karo labo mate..(punten bang Ajarta)" bukankah sama saja dengan sikap yang pertama? Mencoba berpikir ditengah-tengah, mungkin akan menolong melihat budaya ini secara lebih objektif. Memberikan sedikit hikmat dalam memandang budaya hidup yang selalu kita hidupi namun terus berubah ini.

2 comments:

Anonymous said...

Good dispatch and this mail helped me alot in my college assignement. Thank you for your information.

Anonymous said...

Brim over I to but I dream the collection should secure more info then it has.