Friday, September 28, 2007

SELALU ADA JALAN...

Langit sore yang biru, awan berarakan berlayar menyembunyikan matahari yang sebentar lagi tenggelam di ufuk barat. Kesibukan jalanan yang makin tergesa-gesa untuk kembali ke rumah. Semua orang tampak tersenyum bahagia menjalani hari. Mungkinkah di balik senyuman itu ada juga kesulitan hidup seperti ini? ”Hidup ini sulit”, dulunya hanya menjadi kalimat orang dewasa yang rasanya jauh dari dunia anak-anak. Setelah lulus SMA, baru Mardin mulai menyadari kalau kehidupan ini memang keras. Orang tua hanya bisa membiayai kehidupan dan sekolahnya hanya sampai SMA.

”Kami sudah tidak mampu lagi menyekolahkan kamu, Din”, kata ayah suatu malam. Saat itu ibu hanya duduk di samping ayah sambil memandang lurus dalam kebisuan. ”Adikmu masih ada dua orang lagi yang mesti ibu dan bapak biaya sekolahnya. Setidak-tidaknya mereka bisa sampai lulus SMA sepertimu. Sudah saatnya kamu mencari pekerjaan. Kami berharap kamu bisa menolong kebutuhan keluarga kita, nak!”

Tidak mudah mencari pekerjaan di kota ini. Banyak sarjana yang menganggur karena kesulitan mencari pekerjaan. Mardin, menggeser duduknya dan bersandar ke tembok. Kerongkongannya kering dan terasa lidah semakin kelu. Bukan karena puasa dan sepanjang siang dia banyak berjalan di lorong-lorong kota yang membuat puasa semakin berat. Kerinduan hati untuk mendapatkan pekerjaan supaya bisa sedikit meringankan beban keluarga, yang belum juga terwujud membuat dahaga semakin mencekik.

Sebentar lagi suara azan akan berkumandang, enggan rasanya pulang tanpa hasil. Sejak pagi dia sudah keluar dari rumah mencari pekerjaan. Menawarkan diri untuk bekerja menjaga toko juga belum menghasilkan. Menjadi supir angkot juga tidak mungkin. Dia tidak punya SIM dan juga tidak punya uang untuk bisa mengurusnya.

Sobekan koran dihembus angin sore menerpa pergelangan tangannya. Mardin, mengambil sobekan koran itu dan ingin membuangnya ke tempat sampah yang hanya sejauh lima langkah darinya. Dia melangkah ke arah tempat sampah sambil melihat tulisan besar yang terpampang dengan warna yang tajam di sobekan itu. APAKAH ENGKAU INGIN HIDUP BAHAGIA? Siapa yang tidak ingin hidup bahagia? Semua orang pasti ingin hidup bahagia? Tapi bagaimana caranya? Banyak pertanyaan yang muncul di dalam batin Mardin. Dia berlalu dari tempat sampah itu dan tetap memegang sobekan koran itu dengan erat dan terus berjalan pulang ke rumah.

”Aku ingin hidup bahagia”, suara hati Mardin bergema dalam seluruh relung jiwanya. Saat berbuka, taraweh dan juga setelah duduk di depan TV bersama keluarga, dengungan ”Aku ingin hidup bahagia” tidak bisa menjauh dari pikirannya. Mardin mengambil sobekan koran tadi di kantung celananya yang di gantung di balik pintu kamar. ”Hmm...mungkinkah aku menjadi seperti apa yang dikatakan oleh artikel ini? Aku hanya tamat SMA dan keluargaku tidak mungkin memberikan modal usaha bagiku. Tapi membaca tulisan ini membuat aku semakin bersemangat. Ya...saat ini aku merasakan kalau aku memiliki semangat dan yakin untuk memiliki masa depan yang cerah”.

”Andai rumput tetangga lebih hijau, inilah saatnya untuk menyuburkan pekarangan Anda. Keterbatasan hanya ada pada jiwa orang-orang yang tidak punya kemauan. Kesuksesan hidup bukan diukur berdasarkan posisi yang sudah diraih dalam kehidupan...tetapi dengan hambatan yang telah ia lewati saat mencoba untuk berhasil. Sukses akan dicapai saat persiapan dan kesempatan saling bertemu. Karena itu janganlah biarkan apa yang tidak mampu Anda kerjakan...menghalangi apa yang bisa Anda kerjakan. Kerja keras adalah faktor yang paling besar dalam memberi kesuksesan”

Mardin membaringkan diri di tempat tidur keras dengan busa yang sudah sangat tipis. Dia menatap ke langit-langit kamar sambil mendekap sobekan koran dan merenungkan artikel itu. ”Benar, saat ini memang banyak kesulitan di depan. Kalau saya tetap berjuang dan semangat mencari pekerjaan, maka pasti akan ada jalan. Bukankah peribahasa yang di pampang di ruang kelas saat SMP berbunyi, dimana ada kemauan disitu ada jalan? Saya masih muda dan saat ini hanya punya semangat dan mau bekerja keras. bukankah itu suatu kekayaan yang paling berharga dalam masa muda ini? Walaupun teman-teman lanjut kuliah, saya akan tetap semangat untuk mencari pekerjaan. Saya harus membuang rasa malu dan menerima keadaan saya. Empat atau lima tahun yang akan datang, ketika teman-teman sudah lulus kuliah...saya juga pasti akan sudah lebih baik dari sekarang.” Mardin membayangkan kehidupannya yang baik di masa mendatang dengan wajah berseri-seri dan tersenyum, sampai terlelap dalam mimpi indah.

Besok-besok dilanjutkan lagi....:)

2 comments:

Anonymous said...

"Kerja keras adalah faktor yang paling besar dalam memberi kesuksesan"

Nomi.. nomi... selalu gagal belajar tentang iman.

Nomi br Sinulingga said...

bujur melala u komennya ya Jim....

Cerita itu idenya Wansen..tapi karena aku yg nulis jadinya pikiranku yang banyak tertuang.

Hmmm...aku sellu ingin beriman, Jim..
Tuhan, tolong aku orang yang tidak beriman ini.