Wednesday, December 03, 2008

KEBAIKAN MENIKAH MENURUT PANDANGAN AGUSTINUS

Hali Daniel Lie, M.Ag, M.Th.(Dosen STT Bandung dan BLBS, saat ini studi mandarin ke China, Januari 2009 come back to Indonesia again, S.Th di STT Bandung, M.Th di SAAT Malang).
tulisan ini penting diposting karena aku juga dulu diajar oleh Pak Hali, hehe

Status hidup menikah ditanggapi secara berbeda-beda oleh agama-agama. Sebagian besar umat manusia memandang pernikahan sebagai sesuatu
yang wajar, alamiah dan sudah sepatutnya demikian. Ini merupakan pandangan yang umum. Akan tetapi, tidak sedikit kalangan tertentu yang
memandang rendah pernikahan. Mereka melihat pernikahan sebagai sesuatu yang kotor, rendah dan jauh dari hidup kudus. Biasanya, yang
disoroti adalah seks. Sikap negatif ini biasanya langsung ditindaklanjuti dengan menganjurkan kehidupan selibat atau membujang.

Pandangan-pandangan yang serupa muncul pula di antara orang-orang Kristen tertentu.
Melalui tulisan ini kita hendak menggali konsep pernikahan melalui sudut pandang seorang bapa gereja besar bernama Agustinus. Pandangan Agustinus fair dan objektif adanya. Hal ini terbukti melalui tulisan-tulisannya seperti: Holy Virginity (Sancta Virginitate) , On the Good of Widowhood (De Bono Viduitatis) dan On the Good of Marriage (De Bono Conjungali). 1Melalui tema-tema yang dia tulis ini kita bisa mengetahui bahwa Agustinus menghargai baik mereka yang membujang, menjanda & tentunya juga yang menduda, maupun mereka yang menikah. Dia peduli baik kepada mereka yang menikah maupun yang tidak menikah.

Bukunya On the Good of Marriage secara khusus membahas tentang topik nikah an sich. Salah satu tujuan penulisan buku ini ialah dalam rangka menjawab orang-orang yang terlalu mengagung-agungkan kesucian hidup berselibat sampai-sampai mendevalusi nilai-nilai pernikahan.2
Melalui On the Good of Marriage Agustinus hendak mengangkat dan
menempatkan kembali status menikah dalam terang kebenaran Firman
Tuhan, tanpa dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurang-kurangi.
Di dalam buku itu Agustinus menguraikan tiga kebaikan dari status
hidup menikah. Tiga kebaikan menikah itu berturut-turut terdiri dari
beranak cucu (pleros), kesetiaan (fidei) dan sakramen (sacramentum) . 3
Selanjutnya marilah kita mengikuti penguraian Agustinus atas tiga
kebaikan pernikahan ini satu demi satu.

BERANAK CUCU (PLEROS)
Agustinus mengawali risalahnya ini dengan mengingatkan pembacanya bahwa manusia itu adalah makhluk sosial adanya. Beginilah beliau
memulai bukunya dengan mengatakan:
Forasmuch as each man is a part of the human race, and human
nature is something social, and hath for a great and natural good, the
power also of friendship; on this account God willed to create all men
out of one, in order that they might be held in their society not only by
likeness of kind, but also by bond of kindred. Therefore the first
natural bond of human society is man and wife.4Natur manusia sebagai makhluk sosial ini mendorong individu-individu untuk membentuk masyarakat. Kesatuan masyarakat yang paling asli, alamiah dan sederhana dimulai melalui pembentukan keluarga atau rumah tangga.

Secara formal sebuah rumah tangga baru terbentuk pada saat dilangsungkannya pernikahan. Dengan disaksikan oleh keluarga dan sanak famili kedua belah pihak, sepasang pria-wanita itu berikrar membentuk sebuah keluarga. Status kedua orang itu yang sebelumnya adalah buyung & upik dalam bahasa Minangkabau, atau ucok & butet
dalam bahasa Batak, sejak pernikahan telah berubah status menjadi sepasang suami dan istri.

Tuhan sendirilah yang menggariskan pernikahan dengan menciptakan laki-laki dan perempuan. Di dalam penciptaan Tuhan sekaligus memberikan perintah kepada dua manusia mula-mula: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” Perintah untuk beranak cucu berulang-ulang dikutip dan ditegaskan oleh Agustinus melalui berbagai ayat yang berbeda. 5
Mulai dari pasal yang paling awal dari Alkitab, Kejadian 1, konsep pernikahan dan beranak cucu sudah ditegaskan.
Bahkan, konsep itu sudah ada sebelum manusia jatuh ke dalam dosa di mana kejatuhan manusia baru terjadi di dalam Kejadian 3. Jadi, beranak cucu bukanlah konsekuensi dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Setelah melahirkan anak, status pasangan suami-istri itu bertambah satu lagi, yakni menjadi ayah dan ibu. 6
Status ini masih dapat diperpanjang terus. Setelah anak-anak besar lalu menikah sampai
melahirkan anak pula, maka ayah dan ibu itu mendapatkan satu status baru lagi, yakni kakek dan nenek. Setiap status ini tidak dapat tidak selalu
melibatkan pernikahan dan beranak cucu.

Pernikahan merupakan amanat Ilahi yang universal dan terawal. Jadi, lembaga pernikahan itu sendiri baik adanya. Demikian pula dengan
beranak cucu yang tercakup di dalam pernikahan. Bagi Agustinus, perlu dicatat di sini, bahwa walaupun sebuah pernikahan tidak disertai dengan
melahirkan anak, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kebaikan dari pernikahan. Pernikahan telah diinstitusikan oleh Allah sendiri pada masa
yang paling awal, yakni dalam catatan penciptaan.

KESETIAAN (FIDEI)
Tatkala melangsungkan upacara pernikahan, kedua belah pihak, sang pria dan si wanita, saling mengucapkan janji. Mereka bersumpah setia satu
terhadap yang lainnya, baik sehat maupun sakit, baik suka maupun duka, baik kaya maupun miskin. Sumpah setia itu diikrarkan di hadapan Tuhan
dan sesama manusia.

Seksualitas merupakan salah satu aspek yang tak terpisahkan di dalam pernikahan. Di sini, seorang suami dan seorang istri saling
melayani satu sama lain. Dengan demikian mereka memenuhi tanggung jawabnya masing-masing. Dalam penjelasan yang panjang lebar tentang
perkawinan, Rasul Paulus menegaskan: “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya”
(1 Kor. 7:3). Bagi Agustinus saling memenuhi kewajiban merupakan “a mutual service”7 yang memang sudah sepantasnya demikian. Kesetiaan pun dituntut di dalam hubungan seksualitas.

Bukan tidak mungkin di dalam sebuah pernikahan terjadi percabulan dan perzinahan. Agustinus tidak menutup-nutupi kenyataan ini. Akan
tetapi, seandainya pun terjadi percabulan dan perzinahan di dalam suatu pernikahan, itu bukanlah berarti pernikahan menjadi tidak baik atau
kekurangan nilai kebaikannya. Menurut Agustinus, yang benar adalah, percabulan dan perzinahan merupakan dosa dari orang-orang yang
melakukan perbuatan tersebut.8

Kedua dosa ini sering disinggung oleh Agustinus di dalam buku de Bono Conjungali.
Membahas kebaikan menikah, Agustinus banyak mengutip tulisan rasul Paulus di dalam perikop 1 Korintus 7. Dia menyinggung hampir
setiap ayat di dalam perikop ini. Dalam seluruh kitab PL & PB, perikop yang panjang lebar dan terlengkap mengupas perkawinan adalah tulisan
Paulus tersebut. Bersamaan dengan berjalannya waktu, pasangan yang menikah tersebut saling melatih dan memupuk kesetiaan.

Pernikahan menuntut sekaligus melatih pria dan wanita untuk saling berlaku setia satu sama lainnya. Mencermati zaman kita sekarang, adanya Pria Idaman Lain, Wanita Idaman Lain, perselingkuhan merupakan bukti konkret telah hilangnya apa yang Agustinus sebut sebagai kesetiaan. Kesetiaan patut dipertahankan dan dijaga oleh kedua belah pihak.

SAKRAMEN (SACRAMENTUM)
Sakramen yang dimaksudkan di sini jangan diasosiasikan dengan upacara sakramen yang diselenggarakan di dalam gereja-gereja Katolik dan
Protestan. Adapun istilah sakramen yang dipakai oleh Agustinus di sini mengandung pengertian pertalian atau ikatan pernikahan. Sebagaimana
yang sudah digariskan dalam Alkitab, seumur hidup mereka suami dan istri terikat menjadi satu, hanya maut yang akan memisahkan mereka berdua.
Sewaktu menguraikan bagian ini Agustinus tidak melewatkan untuk menyinggung tentang perceraian. Baginya, Alkitab tidak pernah
mengajarkan perceraian. Agustinus tidak lupa membahas pemberian surat cerai pada zaman Musa melalui perspektif yang Yesus sendiri ajarkan di
dalam Matius.9

Dia menegaskan kembali jawaban Yesus di dalam Mat.19:8. Beginilah Agustinus menjelaskannya:
And something like this custom, on account of hardness of the Israelites, Moses seems to have allowed, concerning a bill of
divorcement. In which matter there appears rather a rebuke, than an approval of divorce.10

Musa mengizinkan perceraian di kalangan orang Israel dengan memberikan surat cerai. Hal ini sama sekali tidak boleh diartikan bahwa
Musa setuju dengan konsep perceraian. Kenyataannya, Musa terpaksa
berhubung dengan kekerasan hati atau ketegaran hati orang-orang Israel.
Perlu kita ingat bahwa Agustinus menguasai bahasa latin dengan baik sekali. Besar kemungkinan sakramen yang dia maksudkan tidak lain
dari apa yang dikatakan oleh Paulus di dalam Efesus 5:32, “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”
Dalam Alkitab berbahasa Latin “rahasia ini besar” diterjemahkan dengan memakai istilah magnum sacramentum. 11

Di dalam perikop ini rasul Paulus sedang menguraikan hubungan antara suami dan istri di dalam ikatan atau pertalian pernikahan. Uraian Paulus mengenai hubungan antara suami dengan istri kemudian beralih kepada hubungan antara
Yesus Kristus dengan jemaat-Nya. Oleh karena itu, menurut Agustinus pernikahan mengajarkan kepada kita semua satu hal yang melampaui pernikahan itu sendiri, yakni relasi antara orang-orang percaya dengan Yesus Kristus.12
Orang-orang percaya merupakan mempelai wanita sementara Yesus Kristus adalah Sang mempelai pria. Pernikahan menjadi tanda atau simbol yang hidup yang
bisa menolong kita untuk memahami hubungan antara Kristus dengan jemaat
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -1
Lihat di dalam daftar lengkap karya Agustinus, Mary Inez Bogan, penerj., The
Fathers of the Church 60: Saint Augustine The Retractations (Washington: Catholic
University of America, 1968) 166; “Augustine’s Works” Augustine through the Ages: An
Encyclopedia (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) xxxv - il.
2
John Gibb & James Innes, penerj., Nicene and Post-Nicene Father of Christian
Church, Vol. VII; by Augustine, Philip Schaff, ed. (Grand Rapids: Eerdmans, 1888) 398;
The Retractations, 166..
3 On the Good of Marriage 32, 412; David G. Hunter, “Marriage” Augustine through
the Ages: An Encyclopedia (Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 535-536; David G. Hunter,
“De Bono Conjungali” Augustine through the Ages: An Encyclopedia (Grand Rapids:
Eerdmans, 1999), hl. 110.
4 Augustine, “On the Good of Marriage” Nicene and Post-Nicene Father of Christian
Church, trans by C. L. Cornish, VII: 399.
5 On the Good of Marriage 1-3, hl. 400.
6 Ibid., 3: 400.
7 Ibid., 3: 401.
8 Ibid., 5: 401.
9 Ibid., 7, hl. 402.
10 Ibid.
11 Hunter, “Marriage” Augustine through the Age, 536.

No comments: