Wednesday, July 13, 2005

Wanita dan Teknologi lanjutan

Beberapa hari yang lalu pulang kantor naik angkutan umum, di Jl. Taman Sari depan kafe Halaman, naik dua orang wanita ke dalam angkot yang saya tumpangi. Seorang wanita itu menggendong bayi kecil yang tertidur pulas di dadanya. Tidak berkedip aku melihat sang ibu, yang menurutku mash muda banget dan mungkin umurnya masih belasan tahun. Aku bingung, hari gini..gituloh, menikah sebelum umur 20 tahun. Berapa kira-kira umur suaminya yah..? Aku sibuk dengan pikiranku sampai si bayi bangun dan mulai menjerit, mungkin dia merasa panas kali di angkot itu. Kedua wanita itu turun sebelum aku turun.

Kemajuan Iptek membuat kehidupan ini mudah dan semakin global. Kebebasan bagi semua orang untuk mengecap pendidikan semakin terbuka. Banyak wanita yang telah mendapat kesempatan meraih pendidikan sampai tingkat S1. Kalau mereka menikah setelah lulus S1 sering sekali mereka mendapati suatu pilihan, bahkan dilema. Orang tua menuntut menikah dan segera mendapatkan cucu, sedangkan pihak wanita merasa :”aku sudah setengah mati belajar. Masa ilmuku yang didapat dengan susah payah tidak dipakai. Aku enggak mau di rumah saja.” Umumnya desakan orangtua dan mertua yang “menang”.

Posisi wanita telah berubah, yang tadinya tinggal dirumah dengan sibuk melahirkan, merawat dan mendidik anak. Sekarang semua hal bias dikerjakan wanita, pekerjaan di rumah tinggal di atur, ada pembantu yang mengerjakan dan kalau ada bayi, mungkin setelah tiga bulan akan di serahkan ke babysitter. Si Ibu sudah masuk kantor dan bekerja untuk sesuatu yang kalau ditanya mungkin jawabannya banyak bukan hanya sekedar cari uang. Wanita sekarang mungkin sekali mendapat gaji yang lebih tinggi dari suaminya. Tingkat ketergantungan finansial kepada suami tidak tinggi, dan kemandirian yang dinikmati wanita sering (tetapi tidak harus) mengurangi komitmen wanita terhadap pernikahan.

Dalam keluarga, sekalipun kita berkumpul dan dikelilingi anggota keluarga, tetapi sering sangat kesepian karena semua mata tertuju ke layar kaca atau layar monitor komputer atau layar kecil handphone. Anggota keluarga tidak saling memandang, tidak saling membagi sebagai sebagai suatu persekutuan dimana manusia dapat berteduh dari panasnya dunia yang kompetitif diluar dimana manusia sering menjadi angka atau mata rantai yang kecil dalam mesin produktivitas.

Pernah ada teman mahanim yang sakit dan dikunjungi oleh 3 orang perempuan, teman kuliahnya. Setelah menanyakan khabar si sakit dan sudah berapa lama di opnam, apa penyakitnya dan kapan kemungkinan balik ke rumah kata dokter..semua selesai ditanyakan lima menit. Setelah itu mereka bertiga duduk di kaki tempat tidur dan seorang di kursi yang tersedia dan mulai sibuk dengan layar kecil Hp mereka. Mereka sibuk smsan, bertiga hanya melihat layar HP dengan jempol yang sibuk bergerak di atas keypad.

Bahkan aku juga mengalami perubahan emosi yang aku sadari bukan sesuatu yang baik. Beberapa minggu yang lalu selesai kuliah, aku nonton sinetron Full House produksi luar (Korea bukan sih ?). Serinya ada 16 CD dan aku selesaikan selama dua malam, dengan emosi yang berubah-ubah dari tertawa, tersenyum sampai tersedu-sedu dengan linangan air mata. Aku bingung dengan keadaan dimana ikatan emosi yang terjadi lebih kuat dengan bintang sinetron dari pada dengan orang-orang di sekitar kita. Mungkin ini terjadi bukan hanya padaku, tapi banyak wanita yang sangat emosional ketika menonton sinetron. Mungkin dapat dikatakan bahwa wanita berhak mencari hiburan, berhak lari sejenak dari kenyataan hidup yang kadang sangat menekan ini. Kemajuan sektor media informasi yang visual meningkatkan sinetron,baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri yang tidak dikendalikan oleh kaidah-kaidah agama yang dianut. Iklan juga menjamur yang memasuki kehidupan manusia dan mendorong manusia semakin konsumtif. Dari semua ini bukan hanya pergeseran nilai-nilai moral yang di kawatirkan, tetapi juga anjloknya interaksi yang berarti antara anggota keluarga dalam dunia yang nyata.

Kalau diingat orang tua yang sudah membesarkan dan mendidik para wanita, setelah itu mereka keluar rumah dan jauh dari orangtua. Sering sekali ketika mereka terbentuk jadi wanita yang dewasa dan dengan kepribadian yang menarik tetapi bukan orang tua yang jauh di kampung yang merasakan, tetapi orang lainlah yang “panen”. Terus juga akan terjadi peningkatan dalam diri wanita yang sudah keluar rumah untuk meraih pendidikan tinggi ataupun mencari pekerjaan. Dan tidak jarang mereka tercabut dari akar keluarga dan akar budaya dan kesepian dalam lingkungan yang baru yang belum tentu ramah. Jauh dari keluarga dan pengendalian nilai-nilai keluarga dan masyarakat asal yang makin kendur.
Wanita perlu memantapkan internalisasi nilai-nilai yang luhur dalam dirinya, mereka yang ikut arus perkembangan informasi sangat gampang diombang-ambingkan oleh pengaruh baru yang belum tentu positif.

1 comment:

Nomi br Sinulingga said...

Huahuahua...Mbak dina menurutku memang sulit dibuat bahagia ama orang lain soale kebahagiaannya dah steady state....